KANCING YANG TERLEPAS
Judul : Kancing yang Terlepas
Pengarang : Handry TM
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama (2011)
ISBN : 978-602-03-0101-3
Jml. Halaman : 456
halaman
Penerbitan : 2011
“Cinta Giok Hong terhadap Tek
Siang hampir tulus, ketika prahara besar melanda Gang Pinggir. Di masa sulit
menjelang kehancuran Orde Lama, keduanya terpaksa berpisah. Primadona Orkes
Cina Tjahaja Timoer itu terjebak dalam pusaran intrik para tauke rakus. Ia
diumpankan Tek Siang kepada lawan-lawannya, sekaligus dicintai sebagai kekasih
simpanan.
Kelak, Giok Hong memaksa berontak
terhadap takdirnya. Perlawanannya diwujudkan dalam penyamaran rahasia. Diduga,
Boenga Lily adalah penjelmaan dari Giok Hong yang mencoba merebut kembali
kegemilangannya. Sayang, sebuah kekuatan besar berusaha melenyapkannya.
Novel ini bercerita tentang
perempuan, politik, dan kekuasaan. Masih tentang Indonesia, meski dari sisi
pandang berbeda.”
Itulah sinopsis dari
novel tersebut. Sebuah buku dengan setting teramat unik, bercerita tentang
kawasan Gang Pinggir di sekitar tahun 1960-an dan dengan tokoh utama yang juga
tidak biasa, seorang wanita yang terlibas kekacauan ekonomi dan politik di
sekitar waktu peralihan antara orde lama dan orde baru. Sayangnya aku merasa
penceritaannya tidak terlalu runut dan mulus. Ada jeda-jeda konflik yang
membuat keseluruhan alur buku malah menjadi tidak utuh, misalnya periode antara
hilangnya Giok Hong dan munculnya Boenga Lily terasa sangat kosong tanpa
penjelasan. Mungkin maunya ini jadi misteri cerita, tapi kesannya malah hilang
arah.
Untuk
karakterisasinya, sejujurnya, aku tidak tahu pasti siapa tokoh utama novel ini
sejak pertengahan kisah, saat Boenga Lily muncul. Jika ia memang benar
penjelmaan tokoh Giok Hong yang telah setahun menghilang tanpa penjelasan, maka
aku benar-benar kehabisan simpati padanya. Kisah ini mengubah sosok Giok Hong
yang manis dan rapuh menjadi antihero yang menjengkelkan dan tanpa kesetiaan
dan rasa hormat sedikitpun. Demikian pula tak jelas apa niat dan tujuannya
muncul kembali di wilayah Gang Pinggir ini. Tindakannya membuat huru-hara di
keluarga Tan Kong Gie, merendahkan Ing Wen (yang notabene dulu ada pelindung
dan serupa ibu baginya - bagi Giok Hong) dan kemudian membingungkan Tek Siang
sekaligus mampu mengadu domba Kong Gie dan Tek Siang. Untuk konflik politiknya,
juga atas sangat sedikit terasa. Apa benar Boenga Lily ini antek pemerintah
asing untuk membuat kekacauan di wilayah pecinan? Tidak jelas. Sekali lagi, aku
merasa kunci konflik ini ada pada masa menghilangnya Giok Hong, tapi sampai
akhir, tidak ada penjelasan yang memadai akan hal ini. Mungkin akan lebih pas
jika cerita ini dikisahkan sepenuhnya dari pov sang primadona, sehingga pembaca
dapat ikut melihat dan merasakan apa yang telah mengubah Giok Hong menjadi
Boenga Lily dan apa motivasi sebenarnya ia kembali ke Gang Pinggir.
Meskipun
demikian, setting dan nuansa Gang Pinggir jaman itu ditampilkan bagus sekali.
Itu, dan ditambah ending yang meledak tak disangka-sangka di 4-5 bab terakhir,
membuatku cukup menikmati novel ini. Untuk cetakannya bagus dan tanpa salah
ketik. Judulnya sedikit aneh, meskipun saat membaca, yang kutangkap ini adalah
perumpamaan tentang seseorang yang kehilangan akar keluarganya. Ilustrasi
covernya, aku suka. Menggambarkan wajah seorang wanita yang memakai busana
(topi) tradisional dengan sekuntum bunga Lili di depannya dengan warna-warna
hijau dan salem yang mendominasi. Cantik sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar