Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di
bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di
sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah
selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas
wilayah nya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa
Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan
perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.Pengertian
Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya
Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki
budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan
dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan
India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini.
Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah
dikenal sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta
terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku
minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan
meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di
bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa,
dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang
kental sehari-harinya. Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah
ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa,
mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Di daerah perbatasan
dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan budaya Sunda,
terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di pedalaman Blora
(perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat komunitas Samin yang
terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang Kanekes di Banten.
Bahasa
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian
besar menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek
Solo-Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Di samping itu terdapat
sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum terdiri dari dua, yakni kulonan
dan timuran. Kulonan dituturkan di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas
Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki pengucapan yang cukup
berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran dituturkan di bagian timur
Jawa Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Solo, Dialek Semarang. Di antara
perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua
dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu. Di
wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di Kabupaten Brebes bagian selatan,
dan kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih
menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.Berbagai macam dialek
yang terdapat di Jawa Tengah:
1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai
Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun
10. dialek Banyumasan
(Ngapak)
11. dialek
Tegal-Brebes
Agama
Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas
tetap mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama
lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan
puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap
tolerannya. Sebagai contoh di daerah Muntilan, kabupaten Magelang banyak
dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan salah satu
pusat pengembangan agama Katolik di Jawa. Provinsi Jawa Tengah merupakan
provinsi dengan populasi Kristen terbesar di Indonesia.
GAMELAN JAWA
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum
kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang
Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Menurut Kitab Centini,
tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula
sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar
abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan
digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari
gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana
sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang
setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara
Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau
Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
KERIS JAWA
Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “
Kejantanan “ dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya
berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris.
Keris merupakan lambang pusaka. Di kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka
unggulan keraton merupakan kepercayaan terbesar pada hari satu sura. Keris
pusaka atau tombak pusaka merupakan unggulan itu keampuhannya bukan saja karena
dibuat dari unsure besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsure batu
meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya
disertai dengan iringan doa kepada sang maha pencipta alam ( Allah SWT ) dengan
duatu apaya spiritual oleh sang empu. Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta
alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah
sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai
senjata pusaka itu.
UKIRAN ASLI JEPARA
Para pengukir jepara pandai menyesuaikan diri dengan gaya
ukiran baru. Mereka tidak hanya membuat gaya ukiran khas Jepara saja tapi
ukiran lainnya yang tak kalah menarik. Meskipun ukiran Jepara beragam,
sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas Jepara. Biasanya disebut
ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi ia dapat dikenali dari
ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan. Ada yang mengatakan itu
adalah daun tanaman wuni. Wuni adalah jenis rerumputan liat yang banyak tumbuh
di Jepara. Tanaman itu memiliki buah kecil-kecil yang digemari burung. Bentuk
tanaman wuni itu diolah seniman ukir menjadi bentuk desain ukiran yang indah.
Ciri khas ukiran itu, daunnya digambarkan melengkung-lengkung luwes. Seolah ada
iramanya. Ujung daunnya runcing. Buah-buah kecil diukir menggerombol. Kadang,
ditambahkan ukiranburung yang hendak mematuk buah itu. Ukiran gaya Jepara ini
dulu banyak diukirkan pada peti-peti kayu. Meja kursi juga ada. Tapi, sekarang
jarang diukirkan pada meubel lagi.
Kirab apem sewu adalah acara ritual syukuran masyarakat Kampung
Sewu, Solo, Jawa Tengah yang digelar setiap bulan haji (bulan Zulhijah-kalender
penanggalan Islam). Ritual syukuran itu diadakan untuk mengenalkan Kampung Sewu
sebagai sentra produksi apem kepada seluruh masyarakat sekaligus menghargai
para pembuat apem yang ada di sana. Selain itu, upacara ritual syukuran ini pun
dibuat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena desa dan tempat tinggal
mereka terhindar dari bencana. Mengapa begitu? Menurut Ketua Pelaksana Kirab
Apem Sewu, Pak Hadi Sutrisno, letak Kampung Sewu Solo ini adanya di pinggir
Sungai Bengawan Solo, termasuk daerah rawan banjir. Makanya, masyarakat
mensyukurinya.
Tradisi apam sewu berawal dari amanah yang disampaikan Ki Ageng
Gribig kepada seluruh warga untuk membuat 1.000 kue apam dan membagikannya
kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur. Sejalan dengan berkembangnya
zaman, maka ritual kirab apem sewu ini diawali dengan kirab budaya warga Solo
yang memakai pakaian adat Solo, seperti kebaya, tokoh punakawan, dan kostum
pasukan keraton. Anak-anak sekolah juga menjadi peserta kirab dengan
menampilkan marching band SD, atraksi Liong (naga), serta aneka pertunjukan
tarian tradisional dan teater. 1.000 kue apem yang sudah disusun menjadi
gunungan itu diarak dari lapangan Kampung Sewu menuju area sekitar kampung
sepanjang dua kilometer. Acara kirab berlangsung selama satu hari, yang dimulai
dengan prosesi penyerahan bahan makanan (uba rampe) pembuat kue apam dari tokoh
masyarakat Solo kepada sesepuh Kampung Sewu di Lapangan Kampung Sewu, Solo.
Tedhak Siten merupakan bagian dari adat dan tradisi masyarakat
Jawa Tengah. Upacara ini dilakukan untuk adik kita yang baru pertama kali
belajar berjalan.Upacara Tedhak Siten selalu ditunggu-tunggu oleh orangtua dan
kerabat keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat
dan bakat adik kita yang baru bisa berjalan. Tedak Siten berasal dari dua kata
dalam bahasa Jawa, yaitu “tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten”
(berasal dari kata ‘siti’) yang berarti ‘bumi’.
Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan
mulai belajar duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini
dimaksudkan agar ia menjadi mandiri di masa depan. Dalam pelaksanaannya,
upacara ini dihadiri oleh keluarga inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta
kerabat keluarga lainnya. Mereka hadir untuk turut mendoakan agar adik kita
terlindung dari gangguan setan.Tak hanya ritualnya saja yang penting,
persyaratannya pun penting dan harus disiapkan oleh orangtua yang
menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti kurungan ayam, uang, buku, mainan,
alat musik, dll.Selain itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu,
makanan-makanan (sajen), yang terdiri dari bubur merah, putih, jadah 7 warna,
(makanan yang terbuat dari beras ketan), bubur boro-boro (bubur yg terbuat dari
bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari
bulirnya), dan jajan pasar.
Ritual Upacara Tedhak
Siten:
Tahap 1: Adik kita
dipandu oleh ayah dan ibu berjalan melalui 7 wadah berisi 7 jadah berwarna.
Jadah adalah simbol dari proses kehidupan yang akan dilalui adik kita.
Tahap 2: Lalu, adik
akan diberi tangga yang terbuat dari tebu. Tangga ini menyimbolkan urutan
tingkatan kehidupan di masa depan yang harus dilalui dengan perjuangan dan hati
yang kuat.
Tahap 3: Setelah anak
turun dari tangga, ia dituntun berjalan di atas tanah dan bermain dengan kedua
kakinya. Maksudnya agar nantinya adik kita mampu bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri di masa depan.
Tahap 4: Kemudian,
adik dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang sudah dihias. Ia disuruh untuk
mengambil benda-benda yang ada di dalam kurungan itu, seperti uang, buku,
mainan, dll. Barang yang dipilih adik kita adalah gambaran dari minatnya di
masa depan.
Tahap 5: Setelah itu,
adik diberi uang koin dan bunga oleh ayah dan kakek, harapannya agar ia
memiliki rejeki berlimpah dan berjiwa sosial.Setelah itu, adik dimandikan
dengan air kembang 7 rupa, harapannya agar bisa mengharumkan nama keluarga.
Tahap 6: Setelah
mandi, adik dipakaikan baju yang bagus sebagai harapan kelak ia mendapat
kehidupan yang baik dan layak.
Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan dalam
istana sultan Jawa (Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian
langit, bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan
pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.
Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian ini hanya
diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian
khusus yang amat sacral, jumlah penarik kemudian ditambah menjadi sembilan
orang. Sembilan penari terdiri dari delapan putra-putri yang masih ada hubungan
darah dan kekerabatan dari keraton serta seorang penari gaib yag dipercaya
sebagai sosok Nyai Roro Kidul.
Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga, Sultan Agung
(1613-1646) dengan latar belakang mitos percintaan raja Mataram pertama
(Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan).
Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan dan upacara ritus yang harus
dijalankan oleh keraton juga para penari.
Bedhaya ketawang bisa dimainkan sekitar 5,5 jam dan berlangsung
hingga pukul 01.00 pagi. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan
tarian ini pun harus dalam keadaan khusuk, semedi dan hening. Artinya hadirin
tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan
demi gerakan sang penari. Tarian Bedhaya Ketawang besar hanya di lakukan setiap
8 tahun sekali atau sewindu sekali. Sementara, Tarian Bedhaya Ketawang kecil
dilakukan pada saat penobatan raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota
keraton yang ditambah simbol-simbol.
BATIK
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian
yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga kerajaan di masa lampau, khususnya
di Kerajaan Mataram kemudian Kerajaan Keraton Solo dan Yogyakarta.Awalnya batik
dikerjaan terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja,
keluarganya, serta para pengikutnya. Oleh karena banyaknya pengikut raja yang
tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar
keraton untuk dikerjakan di tempat masing-masing. Seiring berjalannya waktu,
kesenian batik ini ditiru oleh rakyat setempat dan kemudian menjadi pekerjaan
kaum wanita di dalam rumahnya untuk mengisi waktu senggang. Selain itu, batik
yang awalnya hanya untuk keluarga keraton, akhirnya menjadi pakaian rakyat yang
digemari pria dan wanita.Dahulu, bahan kain putih yang dipergunakan untuk
membatik adalah hasil tenunan sendiri. Sementara bahan pewarnanya diambil dari
tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Beberapa bahan pewarna tersebut antara lain
pohon mengkudu, soga, dan nila. Bahan sodanya dibuat dari soda abu dan garamnya
dari tanah lumpur. Sentra kerajinan batik tersebar di daerah Pekalongan, Kota
Surakarta, dan Kab. Sragen.
TARI TRADISIONAL
1. TARI LANGEN ASMARA
Tari Langen Asmara adalah tari tradisi gaya Surakarta. Tari ini
dapat ditijau dari beberapa segi yang dapat diamati misalnya dari segi estetis
atau segi historisnya ( sejarah) dan lain-lain. Penulisan penelitian ini lebih
memfokuskan pada tari Langen Asmara yang ditinjau dari segi koreografinya.
Dalam melakukan pembahasan koreografi yang dikemukakan oleh Soedarsono.
Kemudian dalam melakukan penelitian menggunakan metode deskriptif analisisi
dengan cara pengumpulan data, sirvey, observasi, wawancara dan studi pustaka.
Metode digunakan sebagai cara dalam melakukan penelitian sedangkan konsep dan
teori dipakai sebagai pisau analisa dan menganalisa koreogafi tari Langen
Asmara. Tari Langen Asmara oleh Sunarno Purwoleleono pada tahun 1993.Tari ini disusun
untuk menambah materi tari pasihan gaya surakarta serta guna materi ujian
Hartoyo Di Taman Budaya Surakarta. Penari pertama tari Langen Asmara adalah
Hartoyo dan Sri Atma Lestari. Bentuk sajian tari Langen Asmara terdiri dari
beberapa unsure seperti gerak, rias, busana, pola lantai, iringan ( gendhing
beksan). Berdasarkan unsure-unsur bentuk sajian ini, ternyata merypakan
penjabaran dari elemen-elemen pada koreogafi menurut konsep koreogafi yang
ditemukan oleh Soerdarsono. Melihat struktur sajian dalam tari Langen Asmara,
ternyata dapat disimpulkan bahwa tari Langen Asmara digolongkan dalam genre
tari pasihan gaya Surakarta.
Tari langen Asmara merupakan salah satu komposisi tari pasangan
yang bertemakan percintaan dimana dalam tari tidak terdapat konflik. Inilah
yang menjadi cirri khas dari tari Langen Asmara menggambarkan sepasang kekasih
yang sedang memadu kasih, bersenang-senang. Bentuk sekarnya pun banyak yang
dilakukan secara bersamaan dan memiliki makna tertentu untuk penggambaran
suasana dan maksud. Pemakaian bentuk sanggul kadal menek merupakan daya tarik
tersendiri pada tari Langen Asmara selain penerapan pola geraj penggabungan
gerak gaya surakarta dengan gaya Yogyakarta. Tema dan amanat yang ditampilkan
mudah dimengerti karena penampilanya diwujudkan melalui gerak tari dan garapan
pola lantai yang dimemiliki kekhasan sebagai tari pasihan. Tari Langen Asmara
diharapkan mampu memberikan motivasi untuk penciptaanjenis karya ajar yang
bertema pasihan serta diharapkan untuk selalu dipakai sebagai bahan ajar dalam
kampus ISI Surakarta Fakultas Seni.
2. TARI DRIASMARA
Tari driasmara merupakan salah satu bentuk tari pasangan yang
ditarikan oleh seorang penari putra dan putri, tari driasmara bertemakan langen
asmara atau percintaan antara Panji Asmara Bangun dengan Dewi Sekartaji. Tari
ini disusun oleh Sunarno Purwolelono pada tahun 1976. Tahun1980 tari ini
disusun kembali oleh Wahyu Santosa Prabowo, Nora Kustantina Dewi dibantu oleh
Rusini untuk penataran Pamong Kesenian se-Jawa Tengah di PKJT Sasono Mulyo
Baluwarti Surakarta. Adegan/tarian untuk Prabu Kelana digarap oleh Sunarno
Purwolelana, adegan/tarian panji (alusan) digarap oleh Wahyu Santoso Prabowo,
dan untuk adegan Candra Kirana digarap oleh Sunanro Purwolelana. Untuk gendhing
pengiringnya digarap oleh Martopangrawit, dan pada perekaman digubah oleh
Rahayu Supanggah.Berangkat dari drama tari yang berjudul Panji Asmara,
mengambil cerita panji dengan tokoh Prabu Kelana, Candra Kirana, dan Panji
Asmara Bangun, berproses di Sasana Mulyo, adapun penarinya adalah Sunarno
Purwolelono sebagai Prabu Kelana, Wahyu Santoso Prabowo sebagai Panji Asmara
Bangun dan Utami Retno Asih sebagai Candra Kirananya.
Drama tari tersebut dipentaskan di acara pernikahan Sal Mugiyanto.
Dari drama tari tersebut dipethil/ diambil adegan Candra Kirana dan Panji
Asmara Bangun (adegan pasihan/percintaan antara Candra Kirana dan Panji
Asmara), dari adegan tersebut jadilah tari pasihan. Setelah tersusun menjadi
tari pasihan tokoh Panji dan Candra Kirana dihilangkan (tidak harus
menceritakan Panji Asmara Bangun dan Candra Kirana).Driasmara berasal dari kata
driya yang bearti hati dan asmara yang berarti asmara, driasmara dimaksudkan
hati yang sedang dilanda asmara. Rasa yang muncul/ terkandung dari
tariDriasmara yaitu romantis, penuh kasih, saling mengasihi satu sama lain,
cinta kasih. Tari driasmara menggambarkan sepasang kekasih yang sedang memadu
cinta, melambangkan suatu hubungan percintaan antara dua orang yang berlawanan
jenis. Pada dasarnya tari ini menggambarakan bermacam-macam perasaan manusia
yang terlibat dalam suatu percintaan. Sebagai contoh perasaan sayang, kangen
selalu ingin bertemu dan bersama dengan kekasihnya serta tidak ingin membaginya
dengan orang lain. Rasa kangen dan penggambaraan kerinduan yang mendalam pada
tokoh wanita dirasakan pada gendhing kinanthi sandhung. Rasa damai dan tenteram
dirasakan pada gendhing sekar macapat mijjil. Kebar memunculkan rasa senang dan
mesra yang menggambarkan sepasang kekasih yang bercinta.
3. TARI BAMBANGAN
CAKIL
Tari Bambang Cakil merupakan salah satu tari klasik yang ada di
Jawa khususnya Jawa Tengah. Tarian ini sebenarnya diadopsi dari salah satu
adegan yang ada dalam pementasan Wayang Kulit yaitu adegan Perang Kembang.Tari
Bambangan Cakil
Tari ini menceritakan perang antara ksatria melawan raksasa.
Ksatria adalah tokoh yang bersifat halus dan lemah lembut, sedangkan Raksasa
menggambarkan tokoh yang kasar dan bringas.Didalam pementasan wayang Kulit,
adegan perang kembang ini biasanya keluar tengah-tengah atau di Pathet Sanga.
Perang antara Ksatria (Bambangan) melawan raksasa ini sangat atraktif, dalam
adegan ini juga bisa digunakan sebagai tempat penilaian seorang dalang dalam
menggerakkan wayang.Makna yang terkandung dalam tarian ini adalah bahwa segala
bentuk kejahatan, keangkara murkaan pasti kalah dengan kebaikan.
4. TARI SERIMPI
Serimpi sama artinya dengan bilangan empat. Kata Srimpi menurut
bahasa jawa artinya "impi atau mimpi". Tarian Serimpi merupakan
tarian yang berasal dari Yogyakarta. Tarian ini ditarikan oleh 4 orang putri
yang diiringi oleh musik gamelan Jawa. Gerakan tangan dari sang penari yang
lambat dan gemulai adalah ciri khas dari tarian Serimpi Yogyakarta. Dari ke 4
putri tersebut, masing-masing melambangkan unsur dunia, yaitu : grama (api),
angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Hal dimaksud melambangkan asal
usul terjadinya manusia dan juga melambangkan 4 penjuru mata angin. Pada
dasarnya tari Serimpi ini mengambarkan sifat baik dan sifat buruk. Manusia
diajarkan untuk selalu berbuat baik sebagai bekal menghadap Sang Pencipta. Dari
ke 4 putri tersebut masing-masing mempunyai nama yaitu : Batak, Gulu, Dhada dan
Buncit.
Legenda Tari Serimpi muncul pertama kali di masa kejayaan Kerajaan
Mataram yang diperintah oleh Sultan Agung (1613-1646). Tarian ini hanya
dipentaskan dalam lingkungan kraton sebagai acara ritual kenegaraan sampai
peringatan naik takhta sultan. Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta pada tahun 1775.
Di Kesultanan
Yogyakarta, tarian Serimpi digolongkan menjadi 3 yaitu Serimpi Babul Layar,
Serimpi Dhempel, Serimpi Genjung. Di Kesultanan Surakarta, tarian Serimpi
digolongkan menjadi 2 yaitu Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.
Macam-macam tari
Serimpi :
1. Tari Serimpi Cina
Salah satu jenis tari
putri klasik di Istana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada kekhususan pada
tari Serimpi cina, yaitu busana para penari menyesuaikan dengan pakaian cina.
2. Tari Serimpi
Padhelori
Diciptakan oleh
Sultan Hamengku Buwana VI dan VII. Properti yang digunakan dalam tarian ini
berupa pistol dan cundrik. Membawakan cerita petikan dari Menak, ialah perang
tanding Dewi Sirtu Pelaeli dan dewi Sudarawerti. Tari Serimpi Padhelori
mempergunakan lagu pengiring utama Gending Pandhelori.
3. Tari Serimpi
Pistol
Salah satu jenis tari
putri klasik gaya Yogyakarta, yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII.
Kekhususan tarian ini terletak pada properti yang digunakan yaitu pistol.
4. Tari Serimpi Merak
Kasimpir
Salah satu jenis tari
putri klasik gaya Yogyakarta, yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII.
Properti yang digunakan dalam tarian ini berupa pistol dan jemparing. Gending
yang dipergunakan untuk mengiringi tari Serimpi Merak Kasimpir adalah Gending
Merak Kasimpir.
5. Tari Serimpi
Renggawati
Salah satu jenis tari
putri klasik gaya Yogyakarta, yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana V.
Penari Serimpi Renggawati berjumlah 5 orang. Membawakan cerita petikan dari
Angling Darmo yang magis, dengan menggunakan tambahan properti sebatang pohon
dan seekor burung mliwis putih.
6. Tari Serimpi
Pramugari
Salah satu jenis tari
putri klasik gaya Yogyakarta, merupakan hasil ciptakan Sultan Hamengku Buwana
VII. Tarian ini menggunakan properti pistol. Gending yang dipergunakan untuk
mengiringi tari Serimpi Pramugrari adalah Gending Pramugrari.
7. Tari Serimpi
Sangopati
Tarian ini dimainkan
oleh dua orang penari wanita. Tarian srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini,
sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton
Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi Sangopati kata
sangapati itu sendiri berasal dari kata sang apati, sebuah sebutan bagi calon
pengganti raja. Tarian ini melambangkan bekal untuk kematian (dari arti
Sangopati) diperuntukan kepada Belanda.
8. Tari Serimpi
Anglirmendhung
Menurut R.T.
Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula
terdiri atas tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada Sinuhun Paku
Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian ini dirubah sedikit,
menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas empat penari saja.
9. Tari Serimpi
Ludira Madu
Tari Srimpi Ludira
Madu ini diciptakan oleh Paku Buwono V ketika masih menjadi putra mahkota
Keraton Surakarta dengan gelar sebutan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom.Tarian ini diciptakan untuk mengenang ibunda tercinta yang masih keturunan
Madura, yaitu putri Adipati Cakraningrat dari Pamekasan. Ketika sang ibu
meninggal dunia, Pakubuwono V masih berusia 1 ½ tahun , dan masih bernama Gusti
Raden Mas Sugandi. Jumlah penari dalam tarian ini adalah 4 orang putri. Dalam
tarian ini digambarkan sosok seorang ibu yang bijaksana dan cantik seperti
jelas dituliskan pada syair lagu Srimpi Ludira Madu. Nama Ludira Madu diambil
dari makna Ludira Madura yang berarti "Darah/ keturunan Madura".
5. TARI SINTREN
Sintren adalan
kesenian tradisional masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Sintren adalah
sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta Sulasih
dan Sulandono.Tersebut dalam kisah bahwa Sulandono adalah putra Ki Baurekso
hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan
Sulasih, seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut
tidak mendapat restu dari Ki Baurekso. Akhirnya R.Sulandono pergi bertapa dan
Sulasih memilih menjadi penari.
Meskipun demikian
pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung malalui alam goib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang pada saat meninggal
jasadnya raib secara goib, yaitu dengan cara bahwa pada setiap acara dimana
Sulasih muncul sebagai penari maka Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ke
tubuh Sulasih,pada saat itu pula R.Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh
ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan
R.Sulandono, yaitu dengan cara bahwa pada setiap acara dimana Sulasih muncul
sebagai penari maka Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih,
pada saat itu pula R.Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk
menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara SulasihdanR.Sulandono.
Sejak saat itulah
setiap diadakan pertunjukan sintren,sang penari pasti dimasuki roh bidadari
oleh pawangnya, dengan cacatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari
betul-betul masih dalam keadaan suci (perawan). Sintren diperankan oleh seorang
gadis yang masih suci, dibantu pawang dan diiringi gending 6 orang, sesuai
pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka dilengkapi dengan penari
pendamping dan bador.







Tidak ada komentar:
Posting Komentar